IA-CEPA, ‘Moral Publik’, dan Penyelesaian Sengketa
Kekhawatiran COVID-19 dapat menghentikan berlakunya IA-CEPA, terbukti tidak berdasar. Beberapa masalah tetap ada, tapi perjanjian itu jalan terus, tulis Kate Thresher dalam analisisnya di Indonesia at Melbourne.
Sebagai contoh, beberapa strategi dalam rencana aksi 100 hari untuk implementasi yang diumumkan oleh Perdana Menteri Australia Scott Morrison dan Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo mengandalkan kegiatan tatap muka dan perjalanan. Ini sekarang perlu dipertimbangkan kembali.
Meskipun demikian, mungkin juga ada peningkatan peluang setelah COVID-19, karena sektor-sektor yang secara tradisional resisten terhadap perdagangan dan investasi terbuka. Sebagai contoh, IA-CEPA dapat membantu bisnis untuk mengatasi permintaan yang lebih tinggi untuk perawatan kesehatan dan keterampilan teknologi dalam lingkungan yang semakin digital.
Seiring peluang-peluang ini muncul dan IA-CEPA mulai berlaku, ada baiknya melihat lebih dekat perjanjian tersebut dan bagaimana itu bisa berkembang selama tahun-tahun mendatang. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian khusus adalah mekanisme penyelesaian perselisihan negara investor (ISDS). Walaupun ISDS bukan konsep baru, dalam beberapa tahun terakhir kasus ISDS telah meningkat secara signifikan, di mana Indonesia menjadi sasaran berbagai klaim ISDS termasuk satu klaim yang melebihi US$1 miliar, Kate Thresher memaparkan.
Ini adalah alasan utama mengapa Indonesia telah mempertimbangkan kembali pendekatannya terhadap ISDS, yang memungkinkan puluhan perjanjian investasi bilateral (BIT) untuk mundur untuk membuat jalan bagi perjanjian baru. Namun, ada beberapa batasan larangan dalam Pasal 14.11, lanjut Kate Thresher. Misalnya, pengambilalihan akan sah menurut hukum jika untuk tujuan publik, dilakukan dengan cara yang tidak diskriminatif, dan kompensasi dibayarkan kepada investor sesuai dengan proses hukum yang berlaku.
Ketentuan ini menetapkan, tidak ada dalam bab investasi IA-CEPA yang dapat mencegah Indonesia atau Australia untuk memberlakukan, mempertahankan, atau menegakkan tindakan apa pun “yang konsisten” dengan bab investasi yang dimaksudkan untuk memastikan kegiatan investasi dilakukan dengan cara yang peka terhadap “lingkungan, kesehatan, moral publik, kesejahteraan sosial, perlindungan konsumen, atau promosi dan perlindungan keanekaragaman budaya, atau tujuan pengaturan lainnya”.
Perdana Menteri Australia Scott Morrison (kiri) dan Menteri Perdagangan Australia Simon Birmingham. (Foto: Alex Ellinghausen)
Klausa jenis ini hadir dalam sejumlah perjanjian investasi lainnya seperti Perjanjian Kemitraan Trans-Pasifik (TPP).
Penggunaan “yang konsisten” dalam bab yang berisi Pasal 14.16 sangat signifikan. Dapat dikatakan bahwa jenis kata-kata ini merugikan diri sendiri, dalam arti ia secara efektif meniadakan perlindungan nyata bagi kebebasan negara untuk mengatur. Di sisi lain, beberapa komentator menyatakan, ini dapat dianggap sebagai ketentuan semu-deklaratori, yang mengomunikasikan pentingnya tujuan pengaturan ini.
Yang penting, ketentuan perimbangan juga dapat digunakan untuk menafsirkan ketentuan lain dalam bab investasi, menekankan perlunya pengadilan ISDS untuk mempertimbangkan tujuan pengaturan yang diuraikan dalam Pasal 14.16 dalam setiap keputusan.
Ketentuan perimbangan hanyalah salah satu dari pasal yang berupaya melindungi kebebasan negara untuk mengatur. Sebagai contoh, IA-CEPA juga secara tegas mengecualikan klaim ISDS di mana langkah-langkah yang menyebabkan pengambilalihan dirancang untuk melindungi dan mempromosikan kesehatan masyarakat (Pasal 14.21), lanjut Kate Thresher.
Namun Pasal 14.16 sangat menarik karena pengakuannya yang tegas tentang perlunya mempertimbangkan “moral publik”, sebuah tujuan yang tidak ditampilkan dalam ketentuan TPP yang setara.
Ini mengkhawatirkan mengingat sejarah Indonesia mengatur moralitas, misalnya, melalui undang-undang anti-pornografi yang kontroversial dan kurangnya perlindungan bagi komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender, yang mencerminkan ketegangan antara hak asasi manusia dan nilai-nilai agama di negara ini. Larangan penistaan agama di Indonesia juga terus mengatur perilaku apa yang pantas dan tidak pantas secara moral.
Dalam contoh lain dari ketegangan antara moralitas publik dan kepentingan bisnis, pada akhir Juni, orang Indonesia membanjiri akun Instagram Unilever dengan ribuan komentar yang mengadvokasi boikot perusahaan atas dukungannya terhadap hak-hak LGBTQI+. Walau ISDS hanya akan tersedia jika tindakan pemerintah memengaruhi minat investor, respons pemerintah Indonesia terhadap jenis peristiwa ini berpotensi jatuh dalam pengaturan “moral publik”, Kate Thresher memaparkan.
Ketentuan lain dalam bab investasi, seperti pengecualian klaim ISDS yang timbul dari tindakan kesehatan masyarakat, karenanya dapat ditafsirkan mengingat kebebasan Indonesia untuk mengatur berdasarkan “moral publik”. Ini dapat menciptakan dinamika yang menarik mengingat semakin banyak peluang untuk berinvestasi di industri kesehatan.
Ketentuan perimbangan juga menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang akan bertanggung jawab untuk mendefinisikan “moral publik” di Indonesia. Berkali-kali, fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah diterima di pengadilan domestik sebagai bukti apa yang disebut sebagai penistaan agama.
Bisakah kasus ISDS melihat arbiter internasional mempertimbangkan fatwa MUI untuk menentukan apa yang dimaksud dengan “moral publik”? Hasil seperti itu akan melihat lingkup pengaruh MUI semakin melebar. Bagaimana reaksi Indonesia jika arbiter internasional menolak untuk menerima fatwa MUI? Apa penilaian alternatif moral publik yang dapat digunakan?
Baru ketika klaim diajukan berdasarkan IA-CEPA kita akan melihat klarifikasi lebih lanjut tentang bagaimana ketentuan ini harus ditafsirkan. Sampai saat itu, calon investor harus mengingatnya seiring Indonesia melanjutkan upayanya untuk menarik investasi asing sambil bergulat dengan moralitas, agama, dan hak asasi manusia, tandas Kate Thresher.
Keterangan foto utama: Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo berjabat tangan dengan Perdana Menteri Australia Scott Morrison selama upacara pelantikan di kompleks gedung DPR/MPR di Jakarta, Minggu, 20 Oktober 2019. (Foto: Reuters/Achmad Ibrahim)